Pada zaman dahulu, di sebuah tumpung (desa sangat
kecil, hanya dihuni beberapa kepala keluarga) di daerah ngaju, tinggal seorang
janda dengan dua orang anaknya. Anak yang tertua bernama Patih Laluntur, sedang
yang seorang lagi bernama Patih Sasanggan.Dikarenakan usia yang telah lapuk dimakan waktu,
sang ibu meninggal dunia, sehingga tingga...llah dua orang kakak beradik yang
sudah menginjak usia remaja. Keduanya hidup rukun, sampai tumbuh menjadi pemuda
dewasa.
Beranjak dari keinginan untuk mengubah pola hidup
mereka yang sangat sederhana di tumpung, disertai keinginan untuk memperbaiki
taraf kehidupan, serta keinginan menimba pengalaman di daerah luar, Patih
Laluntur dan Patih Sasanggan sepakat untuk meninggalkan gubug mereka di
tumpung.
Dengan bekal seadanya, kedua kakak beradik itu
berangkat mengembara, tanpa tahu arah yang mesti dituju.
Mereka mengembara keluar masuk hutan belantara, dan
berharap agar segera bertemu dengan pemukiman penduduk. Sekian lama mereka
berkelana, tak jua ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan di daerah yang mereka
lewati. Hanya semak belukar, pepohonan besar, dan berbagai satwa liar yang
mereka jumpai. Bekal yang mereka bawa pun semakin menipis, tidaklah cukup untuk
menempuh perjalanan tanpa batas. Untuk mengisi perut, mereka memakan hewan
buruan yang dibakar, buah-buahan, umbi-umbian, dan pucuk-pucukan yang mereka
temui sepanjang perjalanan.
Suatu hari, karena terlalu lelah dengan perjalanan
panjang itu, mereka istirahat di bawah sebuah batang pohon besar yang rindang.
Patih Laluntur dan Patih Sasanggan tidur-tiduran sambil menatap langit, melihat
burung-burung beterbangan menari riang.
Untuk mengusir rangit (nyamuk hutan), mereka membuat
api unggun kecil (perapian). Agar api unggun yang dibuat dapat bertahan lama,
sang adik, Sasanggan, mengambil ranting-ranting kecil dari pohon dimana mereka
berteduh, untuk sekadar menambah bara.
Asap yang mengepul dari perapian itu mengeluarkan
bau yang sangat sedap, seperti bau daging yang terbakar. Sasanggan segera
mencari sumber bau tersebut, yang ternyata berasal dari ranting dan potongan
kayu dari pohon yang rindang itu. Laluntur juga mencium aroma yang sama.
Karenanya, ia segera menebang salah satu dahan pohon tersebut, yang kemudian
dipotong-potong, dan diletakkan ke dalam api unggun. Asap yang keluar dari api
unggun itu tampak menebal, dan kembali menebar aroma yang sangat sedap,
membangkitkan rasa lapar. Dan yang aneh, potongan kayu itu tidak berubah
menjadi arang, melainkan terbentuk keratan-keratan daging-daging yang dibakar.
Patih Laluntur tidak sabar untuk tidak mencicipinya. Ternyata
potongan kayu itu begitu empuk dan lezat, melebihi kenikmatan dari daging bakar
biasa. Sasanggan pun segera melakukan hal yang sama.
Akhirnya, mereka berdua menebang pohon yang rindang
itu dan dipotong-potong kecil untuk dijadikan santapan, dan sisanya sebagai
bekal perjalanan mereka.
Belum lagi habis santapan di hadapan mereka, sang
kakak sangat terperanjat menyaksikan perubahan yang terjadi pada tubuh adiknya.
Tubuh Patih Sasanggan mulai ditumbuhi
sisik-sisik tebal. Laluntur tertawa terbahak-bahak dan menganggap perubahan
tubuh adiknya sebagai sesuatu yang lucu, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya
keadaannya pun tak berbeda dengan sang adik.
Sasanggan tidak menyadari bahwa yang ditertawakan
adalah dirinya. Ia pun tak kalah terkejutnya menyaksikan tubuh Laluntur telah
ditumbuhi sisik-sisik tebal.
Konon, kedua kakak beradik itu telah memotong dan
memakan tubuh seseorang yang tengah bertapa di situ. Tubuh itu telah berubah
menjadi sebatang pohon sehingga tidak dapat dikenali lagi.
Akan halnya Patih Laluntur dan Patih Sasanggan yang
telah termakan tubuh seorang pertapa itu, seluruh tubuhnya telah dipenuhi sisik
tebal, ekornya yang keras telah muncul, kedua kaki dan tangannya telah berubah
menjadi kaki tangan buaya dengan kuku-kuku yang runcing, dan kepalanya pun
telah berubah menjadi kepala buaya. Jadilah, dua ekor buaya putih.
Kedua ekor buaya putih itu merangkak menjelajahi
hutan dan rimba belantara untuk mencari laut sebagai tempat kediaman mereka.
Kedunya terus mandusur hingga bertemu dengan laut.
Ketika hujan turun, titik-titik air yang telah
menyatu mengalir melewati jalan yang dilalui kedua buaya tersebut. Semakin
sering hujan turun, terjadi pengikisan tebing sungai, kemudian erosi vertikal
yang kuat. Dari aliran yang kecil, kemudian bertemu dengan aliran di tempat
lain. Lama-lama aliran itu menjadi besar, hingga terbentuklah sungai Barito
seperti yang dilihat sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ada Cerita yang Masih Belum di bahas Silahkan Berikan Komentar Ada di Bawah ini dan Berikan komentar anda Mengenai tentang isi Cerita diatas ini..
Saya Ucapkan Trimakasih Atas Kunjungannya ...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.