Alkisah, di sebuah kampung di daerah
Kalimantan Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Si
Suami bernama Labih, sedangkan istrinya bernama Manyang. Walau hidup miskin,
mereka senantiasa hidup rukun, damai dan bahagia. Keduanya saling menyayangi.
Ke mana saja pergi, mereka selalu berdua dan saling membantu dalam setiap
pekerjaan. Ketika Labih ke hutan mencari kayu atau mencari ikan di sungai,
istrinya selalu menyertainya. Sudah hampir sepuluh tahun mereka menjalani hidup
berdua tanpa kehadiran seorang anak. Mereka setiap hari berdoa kepada Tuhan
agar dikaruniai seorang untuk mengisi hari-hari mereka. Namun, sebelum
mendapatkan anak, Manyang meninggal dunia karena sakit. Maka tinggallah Labih
seorang diri. Hidupnya pun semakin terasa sepi.
Labih adalah seorang suami yang
sabar. Ia sadar bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Meski demikian, ia
tetap tekun dan rajin bekerja. Sejak ditinggal mati istrinya, ia tetap
menjalani hidupnya seperti biasanya. Setiap pulang dari hutan mencari kayu
bakar, ia selalu meluangkan waktunya mencari ikan di sungai untuk dijadikan
lauk. Begitulah kegiatan Labih setiap hari hingga ia menjadi seorang kakek.
Pada suatu hari, Labih pergi
memancing ikan di Sungai. Setelah memasang kailnya, ia duduk sambil menunggu
ikan memakan umpannya. Hari itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan ikan,
karena persediaan lauk untuk makan malam sudah habis. Dengan penuh harap, ia
bersiul-siul sambil memegang gagang kailnya. Tak berapa lama kemudian,
tiba-tiba gagang kailnya bergetar. Ia pun segera menyentakkan dan menarik
kailnya ke tepi. Alangkah kecewanya kakek itu saat melihat benda yang
menggantung di ujung kailnya.
“Wah! Aku kira ikan besar, ternyata
hanya ranting kayu,” gumam Labih seraya melepas ranting kayu itu dari mata
kailnya.
Setelah itu, Labih kembali memasang
kailnya dengan umpan yang lebih besar dengan harapan bisa mendapatkan ikan yang
besar pula. Sudah berjam-jam ia memancing, namun belum seekor ikan pun yang
memakan umpannya. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus
menunggu pancingnya. Ia menyadari bahwa pekerjaan memancing membutuhkan
kesabaran.
“Ah, aku tidak boleh putus asa. Aku
harus menunggu sampai mendapatkan ikan,” gumam Labih seraya melemparkan kailnya
ke tengah sungai.
Ternyata benar, kesabaran Labih
membuahkan hasil. Tidak berapa lama setelah ia melemparkan kailnya, tiba-tiba
seekor ikan besar melahap umpannya. Ikan itu menarik kailnya ke sana kemari
hendak melepaskan diri. Dengan sekuat tenaga, ia pun segera menarik dan
mengangkat kailnya ke tepi sungai. Betapa gembiranya hati Labih saat melihat
seekor ikan terkail di ujung kailnya. Ia sangat takjub, karena selama
bertahun-tahun memancing di sungai itu baru kali ini ia memperoleh ikan sebesar
itu. Setelah ia amati secara seksama, ternyata ikan itu adalah ikan patin.
“Waaah, besar sekali ikan patin ini!
Dagingnya pasti gurih dan lezat,” ucapnya dengan takjub.
Setelah itu, Labih pun memutuskan
untuk berhenti memancing, karena merasa ikan itu sudah cukup untuk dimakan
selama beberapa hari. Begitulah setiap kali Labih memancing, ia tidak pernah
mengambil ikan di sungai itu lebih dari cukup. Sebab, ia menyadari bahwa besok
atau lusa ia akan kembali lagi memancing di sungai itu. Akhirnya, dengan perasaan
gembira, Labih membawa pulang ikan patin itu ke rumahnya lalu meletakkannya di
dapur. Kemudian ia segera mencari pisau hendak membelah ikan itu. Namun, pisau
yang biasa ia gunakan membelah ikan ternyata sudah tumpul. Ia pun segera
mengasah pisau itu di atas batu yang berada di samping rumahnya.
Alangkah terkejutnya Labih setelah
kembali ke dapurnya. Ia mendapati seorang bayi perempuan mungil dan cantik.
Wajah bayi itu tampak kemerah-merahan. Bulu matanya lentik dan rambutnya sangat
hitam dan ikal. Melihat bayi itu, Labih menjadi bingung dan gugup ingin
menyetuhnya, karena selama hidupnya belum pernah mengurus bayi. Ia berusaha
untuk menepis perasaan gugup itu dan meyakinkan dirinya bahwa bayi itu adalah
titipan Tuhan yang diamanatkan kepadanya untuk dirawat yang harus ia syukuri.
Akhirnya, ia pun memutuskan untuk merawat bayi itu dan memberinya nama Leniri.
Ketika Labih hendak mengangkat dan
menimang-menimangnya untuk dimandikan, Leniri tersenyum. Labih pun membalasnya
dengan senyuman kasih sayang. Namun, ketika Labih memandikannya, Leniri
tiba-tiba menangis dengan keras.
“Oaaa... oaaa... oaaa...!”
Labih pun segera menghiburnya sambil
mengusap-usap keningnya.
“Cup, cup, cup! Leniri anakku,
diamlah!”
Leniri pun terdiam dan kembali
tersenyum. Usai memandikannya, Labih menghangatkan tubuh Leniri dengan sehelai
kain, lalu membuatkannya bubur dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Setelah
Leniri kenyang, kakek itu membuatkannya ayunan di tengah-tengah rumah.
Perlahan-lahan, ia mengayun Leniri sambil bersenandung.
“Leniri sayang, anakku seorang...
Cepatlah besar menjadi gadis dambaan...”
Tak berapa lama Leniri pun tertidur
pulas dalam ayunan mendengar senandung Labih. Sejak itu, Labih merawat
dan membesarkan Leniri dengan penuh kasih sayang dan perhatian yang melimpah.
Saat Leniri beranjak remaja, ia mengajarinya berbagai ilmu pengetahuan yang
dimilikinya. Tak lupa pula ia menanamkan budi pekerti kepada putri kesangannya
itu. Bahkan, seringkali ia mengajaknya mencari kayu bakar di hutan dan
memancing ikan di sungai untuk mengenalkan alam secara lebih dekat kepadanya.
Waktu terus berjalan. Leniri tumbuh
menjadi gadis cantik dan berbudi, penurut, dan rajin membantu ayahnya. Ia juga
pandai bergaul dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak heran, jika semua
orang sayang kepadanya. Ia pun menjadi dambaan semua pemuda di kampung itu.
Pada suatu hari, datanglah seorang
pemuda tampan yang bernama Simbun hendak melamar Leniri.
“Permisi! Bolehkah saya masuk?” seru
Simbun dari depan rumah.
“Silahkan, Anak Muda!” jawab Labih
yang sedang duduk bersantai bersama Leniri.
Setelah anak muda itu duduk, Leniri
pun segera masuk ke dapur untuk menyiapkan minuman. Sementara itu, Labih segera
mempersilahkan pemuda yang belum dikenalnya itu untuk duduk.
“Anak
Muda, Engkau ini siapa?” tanya Labih.
“Maaf, apabila kedatangan saya
mengganggu ketenangan Tuan. Nama saya Simbun. Saya berasal dari kampung
sebelah,” jawab Simbun.
“Ada yang bisa kubantu, Simbun?”
Labih kembali bertanya.
“Sebenarnya, maksud kedatang saya
kemari ingin melamar putri Tuan yang bernama Leniri itu. Jika diperkenankan,
saya berjanji akan membahagiakannnya, Tuan,” ungkap Simbun.
Mengetahui maksud kedatangan Simbun,
Labih terdiam sejenak. Ia ragu untuk memberikan jawaban, karena putrinya adalah
keturunan ikan patin. Ia tidak ingin asal-usul putrinya yang selama ini
dirahasiakannya diketahui oleh orang banyak. Setelah mempertimbangkan segala
sesuatunya, akhirnya Labih memberi jawaban.
“Baiklah, Simbun! Aku bersedia
menikahkanmu dengan Leniri, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” kata kakek
itu.
“Apakah syarat itu, Tuan?” tanya
Simbun penasaran.
“Begini, Simbun! Sebenarnya, Leniri
itu adalah keturunan ikan patin. Kakek menemukannya saat Kakek sedang memancing
di Sungai dua puluh tahun yang lalu. Jika kamu berjanji untuk tidak menyakiti
hati Leniri dengan mengungkap asal-usulnya, maka kamu boleh menikahinya,” jawab
Labih.
“Baiklah, Kek! Saya berjanji tidak
akan menyakiti hati Leniri. Saya akan menyayanginya sepenuh hati,” ucap Simbun.
Akhirnya, Labih pun menerima lamaran
Simbun. Tak berapa lama kemudian, Leniri pun keluar dari dapur sambil membawa
minum untuk ayah dan tamunya. Usai menyuguhkan minuman, Leniri duduk di samping
ayahnya sambil tertunduk malu-malu.
“Leniri, Anakku! Kenalkan anak muda
ini, namanya Simbun. Kedatangannya kemari hendak melamarmu,” kata Labih.
”Iya, Ayah! Niri sudah mendengarkan
semua pembicaraan ayah dengan Simbun. Niri yakin, semua keputusan Ayah adalah
demi kebahagiaan Niri juga,” jawab Leniri.
Labih pun mengerti maksud jawaban
dari putrinya bahwa ia pun menerima lamaran itu dan bersedia mengarungi
kehidupan rumah tangga bersama Simbun. Akhirnya, Simbun dan Leniri pun menikah.
Mereka hidup rukun dan berbahagia. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang
anak laki-laki yang tampan dan diberi nama Ari.
Suatu hari, ketika Simbun akan
berangkat bekerja, Leniri memintanya untuk menunggui Ari yang sedang tertidur
di ayunan. Leniri akan pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Hari itu,
cucian Leniri cukup banyak, sehingga memakan waktu lama untuk mencuci dan
menjemurnya. Hari menjelang siang, Leniri belum juga pulang dari sungai. Simbun
pun mulai kesal menunggu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul istrinya.
Namun, ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba anaknya terbangun dan menangis
keras. Ia pun bertambah kesal dan marah. Tanpa disadarinya, tiba-tiba ia
berucap:
“Dasar! Ibumu memang keturunan ikan!
Jika bertemu dengan air, pasti ia tidak mau berhenti!”
Tanpa sepengetahuannya, Leniri telah
kembali dari sungai dan mendengar ucapannya itu. Leniri pun tidak sanggup
menahan air matanya, karena sedih. Ia tidak pernah menyangka kalau suaminya
akan melanggar janji yang telah diucapkan ketika akan menikahinya.
“Tidak ada lagi gunanya aku tinggal
di sini. Suamiku sudah tidak sayang lagi kepadaku,” gumam Leniri.
Usai bergumam, Leniri masuk ke dalam
rumah dan mendekati putranya yang sedang menangis. Setelah menyusuinya, ia
menghampiri suaminya.
“Bang! Jagalah anak kita baik-baik.
Adik harus kembali ke tempat asal Adik di sungai. Abang telah melanggar janji
Abang sendiri,” kata Leniri.
Simbun tidak bisa berkata apa-apa.
Ia merasa bersalah dan sangat menyesal, karena telah menyakiti hati istrinya.
Ketika ia hendak meminta maaf, Leniri sudah keburu pergi. Ia berusaha
mengejarnya hingga ke tepi sungai, namun Leniri telah menjadi seekor ikan
patin.
“Istriku! Kembalilah...!” teriak
Simbun dari tepi sungai.
Namun teriakannya sia-sia. Leniri
sudah berenang hingga ke tengah sungai dan menghilang. Sejak itu, Simbun harus
merawat dan membesarkan anaknya seorang diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ada Cerita yang Masih Belum di bahas Silahkan Berikan Komentar Ada di Bawah ini dan Berikan komentar anda Mengenai tentang isi Cerita diatas ini..
Saya Ucapkan Trimakasih Atas Kunjungannya ...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.