Palui adalah
seorang anak laki-laki yang berasal dari sebuah kampung di wilayah Kalimantan
Tengah. Dia merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Palui adalah anak yang
rajin, setiap hari ia membantu ayahnya mencari ikan di sungai. Sutu hari, Palui
harus mencari ikan seorang diri sebab ayahnya sedang sakit. Palui menebarkan
jaring ke sungai beberapa kali, namun tidak ada seekor ikan pun yang berhasil
masuk ke jaringnya.
“Huh, tumben nih
tidak ada satu pun ikan yang berhasil kutangkap,” keluh Palui. Hari sangat
panas. Palui mulai merasa lelah dan kesal. Akhirnya, Palui memutuskan untuk
beristirahat sejenak di bawah pohon. Palui mulai tertidur dan nampak lelap,
ketika tiba-tiba beberapa buah beringin kecil berwarna merah mengenai kepalanya.
Palui melihat ke atas. Terlihat olehnya pohon beringin besar itu sedang banyak
buahnya.
Di ranting pohon
tersebut, Palui melihat sekelompok burung berbagai jenis sedang bertengger. Dia
berniat menangkap burung-burung tersebut, sekedar mengobati rasa kecewanya
akibat tak kunjung mendapat ikan. Perlahan, Palui memasang jaring ikan di pohon
tersebut. Palui turun dan menanti burung-burung itu terjerat di jaringnya.
Melihat tidak ada tanda-tanda ada burung yang terjerat, Palui pulang dengan
membiarkan jaringnya tetap di atas pohon.
Esoknya, Palui
kembali memeriksa perangkapnya, namun hasilnya nihil. Tidak ada satupun burung
yang masuk perangkapnya. Hari berikutnya, Palui kembali datang ke pohon
tersebut. Alangkah senang hatinya melihat banyak sekali burung yang terjerat
jaringnya. Namun, Palui malah bingung, akan diapakan burung sebanyak itu.
Akhirnya, Palui memutuskan untuk membawa burung-burung itu pulang dan
memelihara semuanya.
Palui naik ke atas
pohon. Dia melepaskan burung-burung itu satu persatu dan mengikat mereka dengan
tali tambang yang sudah disiapkannya secara berantai, terkait satu sama lain.
Ujung tali lainnya, Palui lilitkan di tubuhnya. Palui terus mengikat
burung-burung itu. Tanpa sadar, ternyata Palui bergerak secara perlahan-lahan.
Palui mulai sadar bahwa dia berada jauh di atas tanah, saat mengikat burung
yang terakhir. Bukannya merasa takut, Palui malah merasa senang karena dirinya
dapat terbang.
Lama-kelamaan,
palui mulai merasa takut. Kawanan burung tersebut terus terbang tinggi dan berputar-putar.
Mereka terus terbang kerumah Palui.
“Tolong…
toloooooong….!” Teriak Palui sekuat tenaga. Dia berharap ada yang mendengar
suara teriakannya. Sayup-sayup, ibu Palui mendengar teriakan putranya. Dia
bergegas keluar rumah untuk mencari sumber suara. Alangkah kaget ibu Palui
melihat anak sulungnya itu sedang di terbangkan oleh sekawanan burung.
“Cepat kau
lepaskan ikatan yang melilit tubuhmu, Palui,” teriak ibu Palui. Dengan panik,
Palui melepas ikatan di tubuhnya. Sebelum jatuh, tidak sengaja tangan Palui
menyambar beberapa burung untuk berpegangan. Burung-burung yang di pegangnya
ikut terjatuh ke tanah bersama dirinya. Muka Palui terlihat pucat, karena takut
dan panik.
“Palui, kelakuanmu
aneh-aneh saja. Untuk apa pula kamu ikatkan sekawanan burung itu ke tubuhmu.
Jelas saja kamu ikut terbang tinggi, berat badanmu kan lebih ringan
dibandingkan dengan mereka semua. Untung kamu tidak dibawa pergi jauh,” sembur
ibu Palui.
Palui tertunduk
diam. Dia sangat menyesal karena telah bertindak ceroboh. “Maafkan aku, Ibu.
Lain kali aku akan bertindak hati-hati,” janji Palui.
“Iya, pelajaran
untukmu. Sekarang, kita masak saja burung yang kamu bawa,” ujar ibu Palui
sambil tersenyum lega. Akhirnya, Palui sekeluarga bisa makan malam dengan lauk
yang lezat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ada Cerita yang Masih Belum di bahas Silahkan Berikan Komentar Ada di Bawah ini dan Berikan komentar anda Mengenai tentang isi Cerita diatas ini..
Saya Ucapkan Trimakasih Atas Kunjungannya ...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.