Panglima Batur adalah salah seorang pejuang Perang
Banjar (Bandjermasinsche Krijg), yakni perang antara dua bangsa dan
pemerintahan yang berdaulat, yakni antara bangsa Banjar di Kesultanan
Banjarmasin di satu pihak yang wilayah utamanya meliputi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah sekarang dengan pihak Belanda. Pada saat berdirinya
Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam wilayah teritorial Kesultanan
Banjar seperti suku Banjar, Bukit, dan Dayak (a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju,
Kayan, Siang, Bakumpai) baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut
kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”.
Panglima Batur bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”. Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Sepeninggal
Sultan, Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan.
Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah
yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak
buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda
kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang
dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan
kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur
terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan
mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan,
dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda
untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan
perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda
berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila
Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan
Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan
dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan
tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar
bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada
keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l. dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di Jalan Panglima Batur, Banjarmasin)......
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l. dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di Jalan Panglima Batur, Banjarmasin)......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ada Cerita yang Masih Belum di bahas Silahkan Berikan Komentar Ada di Bawah ini dan Berikan komentar anda Mengenai tentang isi Cerita diatas ini..
Saya Ucapkan Trimakasih Atas Kunjungannya ...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.