Penyebab Terjadinya Tragedi Sampit
hingga saat ini masih simpang siur. Saya bertanya dari berbagai narasumber dan
searching di Google, hasilnya berbeda-beda pendapat. Ada yang mengatakan
tragedi ini berawal dari kasus pencurian ayam, kasus perkelahian remaja antar
etnis, kasus kesenjangan sosial, dll. Namun dari berbagai pendapat itu, saya
bisa menyimpulkan bahwa tragedi kerusuhan sampit ini sebenarnya berawal dari
masalah sepele/kecil yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau jalur
hukum yang ada tanpa harus mengorbankan ratusan bahkan ribuan nyawa. Akan
tetapi masalah2 sepele itu terjadi berulang-ulang dan tanpa penyelesaian yang
maksimal, sehingga menimbulkan suasana yang rentan akan konflik yang lebih
besar. Dari beberapa sumber ada beberapa kasus yang telah terjadi
berlarut-larut hingga memuncak pada kerusuhan sampit.
1.
1972, Palangka Raya, seorang gadis
Dayak digodai dan diperkosa, terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan
mengadakan perdamaian menurut hukum adat.
2.
1982, terjadi pembunuhan oleh orang
Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan /
penyelesaian secara hukum tidak ada.
3.
1983, Kasongan, seorang warga
Kasongan etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh
30 (tigapuluh) orang madura). Terhadap pembunuhan atas
4.
1996, Palangka Raya, seorang gadis
Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh
orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
5.
1997, Barito Selatan orang Dayak
dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan
skor orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang
Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.
Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.
6. 1997, Tumbang Samba, ibukota
Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh
oleh seorang suku Madura yang ? tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati secara
mengenaskan, ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak
muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai
dengan si tukang sate telah lari kabur ?.Yang tidak dapat dikejar oleh si
tukang sate itu, si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian.
7. 1998, Palangka Raya, orang Dayak
dikeroyok oleh 4 (empat) orang Madura, pelakunya belum dapat ditangkap karena
melarikan diri dan korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian secara hukum.
8. 1999, Palangka Raya, seorang petugas
Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di
Polresta Palangka Raya
9. 1999, Palangka Raya, seorang Dayak
dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura, masalah sengketa tanah; 2 (dua)
orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua, sedangkan pembunuh
lolos, malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat
kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
10. 1999, Pangkut, ibukota Kecamatan
Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan
suku Madura, gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak
menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke dua belah
pihak, tanpa penyelesaian hukum.
11. 1999, Tumbang Samba, terjadi
penikaman terhadap suami-isteri bernama IBA oleh 3 (tiga) orang Madura;
pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya,
biaya operasi /perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok / pelaku
tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura sana!. (Tiga orang
Madura memasuki rumah keluarga IBA dengan dalih minta diberi minuman air putih,
karena katanya mereka haus, sewaktu IBA menuangkan air di gelas, mereka
12. 2000, Pangkut, Kotawaringin Barat, 1
(satu) keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari,
tanpa penyelesaian hukum. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku
Dayak di bunuh / mati oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja
Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
13. 2000, Kereng Pangi, Kasongan,
Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil).
Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur / lari, tidak
tertangkap, karena lagi-lagi ?katanya? sudah lari ke Pulau Madura, proses hukum
tidak ada karena pihak
14. 2001, Sampit (17 s/d 20 Februari
2001) warga Dayak banyak terbunuh / dibantai. Suku Madura terlebih dahulu
menyerang warga Dayak.
Kejadian-Kejadian Sebelum Puncak Kerusuhan (Perang Terbuka antara Dayak dan Madura)
Tanggal 18
Februari 2001
1.
Pkl.01.00 WIB terjadi peristiwa
pertikaian antar etnis diawali dengan terjadinya perkelahian antara Suku Madura
dengan kelompok Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang mengakibatkan 5 (lima)
orang meninggal dunia dan 1 (satu) orang luka berat semuanya dari Suku Madura.
2.
Pkl. 08.00 WIB terjadi pembakaran
rumah Suku Dayak sebanyak 2 (dua) buah rumah yang dilakukan oleh
kelompok Suku Madura dan 1 (satu) buah rumah Suku Dayak dirusak dan dijarah
oleh kelompok Suku madura. Kejadian ini mengakibatkan 3 (tiga) orang meninggal
semuanya dari Suku Dayak.
3.
Pkl. 09.30 WIB pengiriman Pasukan Brimob
Polda dari Kalimantan Selatan sebanyak 103 personil dengan kendali BKO Polda
Kaliteng untuk pengamanan di Sampit dan tiba Pkl. 12.00 WIB
4.
Pkl. 10.00 WIB sebanyak 38 (tiga
puluh delapan) orang tersangka dari kelompok Suku Dayak atas kejadian tersebut
di atas diamankan ke MAPOLDA Kalteng di Palangka Raya dan menyita beberapa
macam senjatantajam sebanyak 62 buah.
5.
Pkl. 20.30 WIB ditemukan 1 (satu)
orang mayat dari kelompok Suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.
Tanggal 19
Februari 2001
1.
Pkl. 02.00 WIB terjadi pembakaran 1
(satu) buah mobil Kijang milik Suku Madura di Jalan Suwikto, Sampit.
2.
Pkl. 16.00 WIB ditemukan mayat
sebanyak 4 (empat) orang dan 1 (satu) orang luka bakar semuanya dari Suku Dayak
di Jalan Karya Baru, Sampit.
3.
Pkl. 17.00 WIB diadakan sweeping
oleh Petugas aparat keamanan terhadap kelompok Suku Madura dan kelompok Suku
Dayak di Sampit.
4.
Penangkapan 6 (enam) orang Suku
Dayak tersangka berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap tersangka yang telah
ditahan sebelumnya, dan diamankan di Polres Kotim.
5.
Pkl. 22.00 WIB Wakil Gubernur
Kalimantan Tengah dan DANREM 102/PP bersama pasukan dari Yonif
631/ATG sebanyak 276 orang menuju Sampit dan tiba Pkl. 03.00 WIB.
6.
Pada tanggal 18 dan 19 Februari 2001
kota Sampit sepenuhnya dikuasai oleh Suku Madura yang menggunakan senjata tajam
dan bom molotov.
Tanggal 20
Februari 2001
1.
Pkl. 08.30 WIB diadakan pertemuan
antara DANREM 102/PP, KAPOLDA dan Wakil Gubernur dan MUSPIDA Kabupaten
Kotawaringin Timur dengan tokoh masyarakat di Sampit ( Tokoh Dayak, Madura dan
Tokoh Masyarakat Sampit) untuk mengupayakan penghentian pertikaian dan
dilanjutkan dengan pemantauan ke lokasi pertikaian dengan mengadakan dialog
dengan warga yang bertikai.
2.
Warga yang ketakutan karena
kerusuhan dan sweeping disertai pembakaran rumah yang dilakukan oleh Suku
Madura terhadap Suku Dayak mengungsi ke Gedung Balai Budaya Sampit, Gedung DPRD
Kotawaringin Timur dan Rumah Jabatan Bupati Kotawaringin Timur sebanyak 702 KK
(2.850 orang) bukan Suku Madura dan sebagian warga non Madura mengungsi ke Palangka
Raya.
18 Februari warga Madura mula
menguasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata, puluhan warga Madura
pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai roda dua
sampai roda empat. Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga Dayak,
mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya, sepuluh rumah dibakar.Tujuh orang
tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil tujuh
bulan ikut dibunuh dengan dirobek perutnya. “Itu fakta,” kata Bambang Sakti,
tokoh muda Dayak asal Sungai Samba. Situasi itu membuat Sampit Minggu malam
mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan warga di Jalan
Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di
depan rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati.
Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka
berdesak-desakan mengungsi. Ini terjadi karena mereka belum tahu betul siapa
yang menguasai jalanan di Sampit malam itu: Madura atau Dayak. Di
pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun. “Saya saat itu ikut
mengungsi,’ ujar seorang wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak
keluar-masuk Sampit, warga Madura melakukan penjagaan di pertigaan Desa Bajarum
yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi. Penjagaan juga terjadi di Perenggean,
Kecamatan Kuala Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir Mentayan. Selama berpawai
itu, warga Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. “Mana Panglima
Burung? Mana tokoh Dayak?” tantang mereka.
Tak hanya itu, seorang tokoh Madura
melakukan orasi lewat pengeras suara, “Sampit akan jadi Sampang kedua, Sampit
jadi Sampang Kedua”. Mereka juga memasang spanduk: Selamat datang orang Dayak
di kota Sampang, Serambi Mekkah. “Spanduk itu yang kami cari sekarang,” kata
Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan sejumlah bom di rumah-rumah
warga Madura. “Ini bukan isapan jempol,” tuturnya. Sedikitnya, pasukan Dayak
sudah menyerahkan 300 bom yang ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga
beberapa pucuk pistol. “Tidak tahu bagaimana tindak lanjutnya,” jelasnya.
Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu dikirimkan ke Sampit. Tapi, sumber
Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu, didistribusikan ke
berbagai warga Madura di kecamatan. Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan
diri jika sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena bom itu pula, 112
warga Madura di Kecamatann Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini
setelah warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura
Melihat aksi penguasaan warga
pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas membawa bala bantuan
pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dulu melakukan
perlawanan sporadis. Selasa malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik.
Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS)
Mentaya,seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito
berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan.
Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda tak lebih 25 tahun
membekali diri dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang.
Pasukan itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman
warga Madura. Meski dalam jumlah kecil, kemampuan bertempur pasukan
khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu memukul balik warga Madura
yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka
melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka sanggup menghadapi bom yang banyak
digunakan warga Madura.
Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.
Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura. Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa. Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di semua kota kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.
Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi, bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder. Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung merapat ke bibir sungai. Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh. Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur. Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit, Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.
Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura. “Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium,” ujar Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non Madura. Sebelum masuk ke loksi penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai. Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line. Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatann Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa. Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di semua kota kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya, Sampit, maupun Samuda.
Total Jumlah Korban Kerusuhan Sampit
Dalam pelayaran menyusuri Sungai
Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa Melihat puluhan mayat yang mengapung di
sepanjang sungai, dan sejumlah Bangunan rumah warga Madura dan Pasar
Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus. Dikatakan seorang
pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul
Sari (30), bahwa yang tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung dan
tersangkut di pinggir. Sementara yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga
etnis Madura. “Ini baru yang di sungai, belum yang terserak di pinggir
sepanjang Jl. Masjid Nur Agung saja tidak kurang dari 200 mayat,” katanya.
Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang
bergelimpangan di tepi jalan. Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral
yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak
mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan
mandau Dayak saja sudah bersyukur. Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan
Dayak tidak lagi membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang
hanya etnis Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina.
Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa
potong. Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya
lagi. Mereka (warga etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya
disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada
apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang
saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,…
kuluk,… kuluk,… sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga
Madura.
Tidak ada yang tersisa, mereka yang
menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang pada malam hari,
ratusan Dayak dengan suara kuluk…, kuluk…, sambung-menyambung muncul dari
segala penjuru. Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa
kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk Ende,
Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena warga
Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan sengit.
“Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak,” kata Sopian.
Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai mengatakan, dia
berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang cukup lebat.
Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat beberapa warga Madura
dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas melawan Dayak
di Semuda. “Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari
satu atau dua hari saja,” kata Sopian. Sopian bersama pengungsi lain yang ada
di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak. Bahkan
ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak.
Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping
mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi. Menurut
Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan
keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura
ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman.Kekesalan warga
Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi, seperti
yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta
perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar
ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak
yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat
pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat
merangkak sejauh 300 m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari
hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian.
Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya. Seorang pengungsi,
Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan
dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi Parengkuan
yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan akan dibawa ke
tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis. Ternyata mereka
yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura disuruh turun dan
dibantai. “Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200 pengungsi yang
tewas dibantai,” kata Choiri. Choiri mengatakan, yang dibantai itu semuanya
wanita dan anak anak.
Begitu jemputan yang kedua tiba,
yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka selamat tidak di
tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob dari Jakarta. Liar Pengakuan
seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di Jl. Pinang 20
Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut pasukan
Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya, mengapa orang Dayak
menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang. Awalnya suaminya
enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena
dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa
suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang
membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang
membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus diburu
dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa kasihan,
ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan minyak tertentu.
Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang kesurupan, mungkin mereka
kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan perintah panglima
perang suku Dayak. (R Dewanto Nusantoro)
Akhir Konflik
Kerusuhan sampit yang menjalar
hingga kesegala penjuru kalimantan tengah benar-benar berakhir sekitar bulan
Maret pertengahan. Untuk memperingati akhir konflik ini dibuatlah perjanjian
damai antar suku dayak dan madura. Perjanjian itu tertulis dalam sebuah buku
yang berisi beberapa persyaratan dan hal-hal lainnya. Selain itu untuk
memperingati perjanjian damai itu, dibangun sebuah tugu perdamaian di Sampit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ada Cerita yang Masih Belum di bahas Silahkan Berikan Komentar Ada di Bawah ini dan Berikan komentar anda Mengenai tentang isi Cerita diatas ini..
Saya Ucapkan Trimakasih Atas Kunjungannya ...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.