Desa Tewah termasuk desa yang cukup
besar dan banyak penduduknya, serta aman tenteram dan makmur pada seratus tahun
yang lalu. Masa itu hiduplah dua orang wanita kakak beradik bernama Balau dan
Tajuh, sebagai anak dari Nyahu dan isterinya Manyang. Mereka berdua
telah bersuami. Balau dengan Laut sedangkan Tajuh dengan Mecen. Balau
seorang perempuan yang berjiwa besar, bijaksana,tajam pemikirannya,
panjang akal dan tanggap dalam mengatasi berbagai kesulitan
maupun bahaya yang dihadapi masyarakat
sedesanya.
Suatu ketika terbetik kabar ada segerombolan asang (serangan seseorang atau
kelompok yang dengan kejam mencencang, tasang-mencencang) dari hulu
sungai Barito di bawah pimpinan tamanggung (gelar kebesaran bagi
seorang pemimpin suku atau sebuah betang) Dupa sebanyak sembilan ribu orang
akan maasang (menyerang dan mencencang musuh yang ditemui) desa Tewah.Hal ini
mengejutkan dan membuat takut penduduk desa Tewah, karena tidak mungkinuntuk
menghadapi musuh sebanyak
itu.
Untungsaja betang yang ada di desa Tewah itu telah mempunyai pagar kuta (pagar
pengaman atau benteng tradisional yang ditancapkan dan disusun rapat. Biasa
digunakan kayu ulin, batang kelapa, batang pinang atau rigei, sejenis
palma).Tanpa berunding dengan segera Balau memerintahkan jipennya
(budak, pelayan) membenahi pagar kuta dan
menambahkekuatannya.
Mereka yang tinggal di pondok, di ladang, di luar pagarkuta lalu
dipanggil masuk beserta dengan ternak piaraannya dari padaditinggalkan untuk
bahan makanan musuh. Selain itu dikumpulkan pula kayu bakar
dan beratus-ratus batang bambu betung dantamiang.
Sebenarnya jumlah asang anak buahTamanggung Dupa hanya lima ratus orang saja.
Sedangkan penduduk desa Tewah waktu itu yang berada dalam kuta cuma
empat ratus dua puluh sembilan orang. Jumlah lelaki dewasa yang cakap
menggunakan senjata hanya tujuh puluh sembilan orang, lainnya wanita dan
anak-anak.
Ketika gerombolan asang itu datang, penduduk yang tinggalnya jauh dari kuta dan
tidak sempat masuk, habis dibunuh asang tersebut. Kaum lelaki yang muda dan
kuat dibiarkan hidup dan ditawan sebagai jipen.
Senjata yang sama dipergunakan olehkedua belah pihak yakni sumpitan (senjata
tradisional suku Dayak terbuat dari kayu ulin berlubang seperti laras senapan,
damek sebagai pelurunyayang dihembuskan dengan mulut terbuat dari bambu yang
diberi ipu atau racun yang dalam komposisi tertentu dapat mematikan,
mandau(senjata tradisional suku Dayak, sejenis parang), tombak dan duhung
(senjata tradisional suku Dayak mata berbentuk tombak).
Ujung damek (anak sumpitan, lihat : sumpitan) diberi ipu (racun
pada damek atau senjata lain, lihat :sumpitan) dari getah kayu
siren. Masa itu senjata sumpitan sangat ditakuti sebab sangat
mematikan, dalam jarak yang efektif sesuai kekuatan hembusan peniupnya antara
sepuluh sampai tiga puluh depa. Dalam desa Tewah sendiri waktu itu
terdapat pula beberapa pucuk meriam serta lela(meriam kecil).
Karena pertempuran secara berhadapan langsung dihindari
penduduk Tewah yang kalah jumlah lelakinya yang pandai berkelahi, maka
gerombolan asang lalu mengepung desa itu dengan perkiraan mereka akan menyerah
sebab kehabisan makanan. Mereka tidak mengetahui bahwa bahan makanan penduduk
dalam kuta itu mampu untuk bertahan sampai enam bulan.
Setiap harinya dalam pagar kuta Tewah yang dikepung asang itu kaum
wanita aktif bekerja membantu kaum lelakinya membuat suah (ranjau dari bambu
runcing) dan tombak dari bambu yang ditebarkan sekeliling kuta bagian luar.
Hampir tiap malam terdengar jerit kesakitan disusul erangan kematian dari
kawanan asang yang berani mendekati pagar kuta. Sudah lebih dari tiga puluh
orang yang meninggal terinjak suah yang beracun.
Tamanggung Dupa sangat jengkel menghadapi perlawanan penduduk desa Tewah ini
dan ia pun berseru dengan nyaring: “Hai penduduk Tewah, lebih baik kalian
menyerahkan diri serta harta bendakalian, dari pada nanti kami binasakan !”
Apa jawaban penduduk desa Tewah ? Dengan lantang Nyai Balau berseru:
“Kami tidak akan menyerah !”
Mendapat jawaban ini Tamanggung Dupa berkata pada anak buahnya :
“Nampaknya cara yang mudah untuk mengalahkan mereka sudah tidak kita
peroleh. Malah puluhan kawan kita telah mati sia-sia kena suah beracun mereka.
Untuk pulang tanpa hasil kita semua pasti malu, sebab itu buatlah
haramaung
nyaran!”
Mereka lalu menebang bambu-bambu dan mencari baner (akar papan seperti dinding
dari pohon kayu dalam rimba) kayu. Lalu dibuatlah haramaung nyaran itu seperti
sebuah gerobak dengan roda dari baner kayu beratapkan bambu panjang yang
dikebat bulat-bulat.Di bawah kebatan bambu dapat berlindung puluhan orang.
Kawanan asang mencoba mendekati pagar kuta, untuk membakar desa dengan
menggunakan kayu panjang berbentuk katapel untuk melontarkan
api. Balau dan suaminya Laut, Mecen iparnya dan Nganen, seorang
pemuda yang berani memimpin warganya menghadapi haramaung nyaran ini dengan
cara dijatuhi balokan ulin besar hingga hancur.
Ketika kawan asang yang berlindung dibawahnya ke luar, lalu dihujani
dengan sumpitan dan tombak bambu runcing. Tanah sekitar pagar kuta telah pula
bertaburan dengan suah serta jebakan-jebakan maut lainnya, menyebabkan korban
semakin bertambah saja. Apalagi meriam pun ditembakkan sesekali yang akibatnya
membuat hancur berantakan haramaung nyaran berikut asang yang berlindung
dibawahnya.
Diam-diam ternyata desaTewah mendapat bantuan dari desa
Tampang dan desaTumbang Pajangei. Mereka mengintai dan menyelinap
membunuhi gerombolan asang tersebut sewaktu tidur.
Keadaan ini sangat meruntuhkan semangat anak buah tamanggung Dupa
yang semakin berkurang. Untuk mundur begitu
saja mereka merasa malu, apalagi telah
mengepung desa Tewah selama tiga bulan. Terpaksa diambil keputusan mencoba
terakhir kalinya dengan cara bertempur habis-habisan di siang bolong.
Kembali kecerdikan Balau muncul dalam menghadapi serangan frontal tamanggung
Dupa. Pemikiran jenius seperti yang dimiliki Balau jarang dijumpai pada
kaum wanita pada masa itu. Balau memerintahkan adik iparnya
Mecen dan Nganen untuk mengumpulkan semua katambung (gendang panjang
berbentuk silinder) yang ada di desa Tewah.
Dengan patuh semua pendudukmenyerahkan katambung miliknya dengan bertanya-tanya
: “Apa gerangan gunanya katambung ini ? Bukankah musuh masih didepan
mata ? Bagaimana kita dapat bergembira ?”
Tidak seorang pun dapat menduga maksud Balau, sebab katambung adalah
peralatan hiburan, pelengkap tetabuhan. Ternyata katambung ini dipasang
di dinding kuta dengan cara separuh di luar dan separuh lagi bagian
yang tertutup jangat (kulit binatang) tempat menabuh berada di dalam, hingga
jika dilihat dari jauh bagaikan moncong-moncong meriam.
Ketika rombongan asang datang mendekat, mereka jadi tertegun. Apakah mampu
untuk menghadapi meriam sebanyak itu ? Sebenarnya bubuk mesiu
penduduk Tewah sudah habis.
Saat kawanan asang itu bengong dinaikkanlah panggung ke atas pagar kuta
berisikan seorang jipen perempuan yang didandani seperti sosok Balau sendiri.
Ia lalu menari seperti seorang penari perut atau penari striptease sekarang
dengan melepaskan busananya satu persatu di hadapan asang beratus-ratus orang
itu.
Merupakan suatu pantangan terutama bagi orang yang berperang, maasang, mangayau
atau berusaha jika melihat wanita telanjang, karena pasti mendapat sial atau
celaka.
Keadaan ini membuat tamanggung Dupa serta dua ratusan orang
sisa anak buahnya itu kemudian mundur teratur dan menghilang, kembali ke
kampungnya dengan tangan hampa.
Berita pengepungan desa Tewah dan kemunduran asang itu tersiar ke
mana-mana. Sejak itu desa Tewah menjadiaman dan tidak pernah lagi mendapat
gangguan. Kabar ini pun sampai ke telinga Pangeran Muhammad Seman, raja Banjar
yang berada di daerah hulu sungai Barito dalam perlawanannya terhadap Belanda.
Dengan tujuan mencari dukungan memerangi Belanda dikirimnya seorang utusan
mengantarkan hadiah sebagai tanda bersahabat serta memberi
gelar untuk Nganen yakni tamanggung Dupa, sama
dengan nama pemimpin asang sesuai pilihannya sendiri, serta
Raden untuk Laut suami Balau dan Nyai untuk Balau, karena keberanian dan
kegagahan mereka.
Hingga kini sandung (bangunan tempat menyimpan tulang sesudah ditiwah) Nyai
Balau masih ada, terletak di antara perumahan penduduk dalam desa Tewah
yang termasuk kecamatan Tewah kabupaten Gunung Mas. Sandung wanita
suku Dayak yang terkenal ini bertiang tunggal, kesemua bahannya dari kayu ulin,
dengan atap dari papan tebal dipasang melintang hingga
kesannya terlihat panjang. Di dekatnya terdapat dua buah sapundo
(tiang sakral tempat mengikat hewan korban dalam upacara tiwah) bagaikan
pengawal sandung tersebut yang kini sudah sangat memerlukan penataan obyek
serta lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ada Cerita yang Masih Belum di bahas Silahkan Berikan Komentar Ada di Bawah ini dan Berikan komentar anda Mengenai tentang isi Cerita diatas ini..
Saya Ucapkan Trimakasih Atas Kunjungannya ...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.